Divisi Hukum Ham dan Advokasi HMP Hukum Keluarga Islam UIN Raden Intan Lampung yang di komandani oleh Niza Nur Azizah mengadakan kegiatan Webinar Nasional dalam rangka menghalau radikalisme yang merambah dikalangan mahasiswa.
Kegiatan yang digelar pada hari rabu, 07 Juli 2021 menghadirkan narasumber Dr Abdul Qodir Zaelani, M.A., dari Kabid Penelitian dan Pengkajian FKPT Provinsi Lampung dan Pendiri NII Crisis Center yang merupakan mantan komnadan NII Ken Setiawan
Acara dibuka oleh Dekan Fakultas Syariah yang diwakili oleh Wakil Dekan Ibu Dr. Hj Nur Nazli, S.H Sag.,MH, menurut beliau, acara Webinar Nasional ini merupakan acara yang dinantikan oleh para mahasiswa agar dapat membentengi diri dari bahaya radikalisme karena mereka bisa menyusup ke kalangan pendidikan baik ditingkat dasar maupun perguruan tinggi.
Setelah acara seremonial pembukaan, acara dilanjutkan diskusi dan tanya jawab yang dipandu oleh moderator Yeyen Wansiska yang merupakan Kabid Hukum HAM dan Advokasi HMP Hukum Keluarga Islam UIN Raden Intan Lampung.
Narasumber pertama yaitu Dr Abdul Qodir Zaelani, M.A., memaparkan bahaya radikalisme, menurutnya bahwa ada faktor pemahaman agama yang sempit, pemahaman agama yang sensitif dan faktor ekternal yaitu ekonomi sosial politik serta media sosial menjadi pemicu penyebaran paham radikal di masyarakat.
AQZ juga menyatakan biasanya karakteristik kelompok radikal bersikap eksklusif, intoleran, memonopoli klaim kebenaran, playing victim, pandai bertaqiyyah, dan menyebar hoaks, ujaran kebencian, provokasi bertujuan untuk memecah belah dan mengadu domba.
Ia juga menyatakan, radikalisme sudah menyasar berbagai kalangan, termasuk mahasiswa. Hal ini dibuktikan dengan berbagai penelitian dari berbagai sumber. Menurutnya, radikalisme menyasar mahasiswa karena mahasiswa adalah representasi dari rakyat, memiliki prastise di masyarakat. Menurutnya, penyebaran ideologi membutuhkan orang-orang pintar bukan hanya pintar secara akademik, namun juga memiliki soft skill dalam membuat konten sesuai dengan keinginiannya di website, buletin dan youtube. Sarana media social dianggap efektif, karena terdapat 150 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia, sebagian besar merupakan generasi muda.
AQZ memberikan solusi agar paham radikal tidak terus berkembang di kalangan mahasiswa dengan berbagai cara yakni penguatan wawasan keagamaan yang berciri khas ke-Indonesia-an yaitu moderat (wasathiyyah), inklusif, damai, toleran dan rahmatan lil alamin. Penguatan nilai-nilai kebhinekaan dan toleransi, meningkatkan jiwa nasionalisme, membangun rasa persatuan dan kesatuan, saling hormat, saling sayang, dan saling menjaga.
“Tidak saling membenci dan tidak menyukai kekerasan. Menanamkan ukhuwwah islamiyah, wathanoniyyah, insaniyyah/basyariyyah”, Jelas AQZ.
Narasumber kedua yaitu Pendiri NII crisis Center menyampaikan bahwa paham radikalisme dan terorisme tidak di monopoli oleh satu agama tertentu, kelompok atau sekte, tapi bahwa radikalisme adalah suatu paham yang menginginkan perubahan sosial politik dengan cara yang keras atau drastis.
Menurut Ken, mungkin karena di Indonesia mayoritas beragama Islam dan pelaku teroris banyak yang beragama Islam maka tercipta stigma seolah radikalisme dan terorisme identik dengan Islam.
Padahal radikalisme dan terorisme sejatinya adalah fitnah untuk agama islam, karena rata rata pelaku teroris mengaku beragama Islam.
Ken mengatakan bahwa radikalisme atas nama agama sudah masuk ke semua lini masyarakat, tidak pandang sisi ekonomi, pendidikan dan status sosial, bahkan artis dan kalangan ASN serta aparat TNI/POLRI juga ditenggarai sudah banyak yang terpapar.
Ken juga menyebut data baru dari survei yang dilakukan oleh BNPT dan BIN bahwa 85 persen milenial berpotensi terpapar radikalisme, itu menurut Ken karena usia muda rentan dan labil sedang pencarian jatidiri, ditambah dengan media sosial yang gencar dimanfaatkan kelompok radikal.
Jumlah kelompok radikal menurut Ken tidak banyak, tapi mereka 24 jam bergerak sementara kita yang mayoritas diam, kita yang waras diam, jadi seolah oleh kelompok radikal mendominasi media sosial.
Digroup whatsapp misalnya 257 orang, yang radikal paling hanya 2-3 orang saja, tapi yang 2-3 orang itu berisik sekali mengirimkan terus menerus konten hoax, karena dibiarkan ya mereka semakin merajalela.
Masyarakat hendaknya kritis dan tabbayun, cek dan ricek terhadap informasi yang diterima, jangan sampai menjadi korban hoax atau bahkan menjadi pelaku hoax karena turut menyebarkan informasi yang belum jelas sumbernya. Tutup Ken.