Membumikan Pancasila di Sulawesi Selatan, BPIP Hadirkan Pendiri NII Crisis Center Ken Setiawan



Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mengelar diklat bagi organisasi sosial dan politik di Provinsi Sulawesi Selatan, senin (23/5)

Deputi Bidang Pendidikan dan Pelatihan BPIP Dr Baby Siti Salamah yang dalam sambutanya mengatakan bahwa kegiatan ini dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan penguasaan pemahaman dan kemampuan pada organisasi sosial dan politik agar dapat di sosialisasikan di lingkungan daerahnya masing masing.

Gubernur Sulawesi Selatan yang diwakili oleh kepala Kesbangpol Dr Asriady Sulaiman saat memberikan sambutan menyebutkan bahwa pihaknya mendukung kegiatan yang dilakukam BPIP bagi kalangan ormas sosial dan politik sebagai pondasi bangsa untuk menghidupkan sikap nasionalisme sesuai dengan nilai Pancasila.

Acara dibuka oleh Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof Hariyono dan seremonial dilakukan dengan menabuh gong sebagai simbol acara diklat telah dimulai.

Salah satu narasumber yang dihadirkan oleh BPIP adalah Pendiri NII Crisis Center Ken Setiawan yang merupakan mantan aktifis NII yang telah insyaf dan kini mendirikan pusat rehabilitasi korban NII.

Dalam paparanya Ken menceritakan pengalaman bergabung di NII dan kenapa bisa keluar dari gerakan tersebut.

Ken menjelaskan awalnya terekrut kedalam kelompok radikalisme karena belajar dengan guru yang salah sehingga akhirnya memahami Pancasila sebagai taghut atau berhala yang harus di tolak diingkari dan ditinggalkan,

Tapi setelah menyadari yang dilakukannya salah, maka Ken memutuskan untuk keluar dan belajar memahami Pancasila dengan cara yang benar.

Pancasila menurut Ken memang bukan wahyu Ilahi, tapi didalam sila Pancasila terkandung nilai nilai ajaran agama yang juga dirumuskan oleh para Ulama. Jadi menjalankan nilai nilai Pancasila juga otomatis menjalankan ajaran agama.

Misalnya Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, Tuhan itu satu, sama dengan tauhid dalam Islam, di perjelas dalam Bhinneka Tunggal Ika, walaupun beda agama suku ras, tapi tuhan kita satu, tuhan kita sama, hanya beda menyebut dan beda cara ibadahnya.

Menurut Ken, radikalisme akan tumbuh disebuah negara yang mayoritas, dan kebetulan di Indonesia mayoritas Islam, jadi ketika ada pelaku terorisme ditangkap densus 88 di kolom KTP tertulis oknum yang beragama Islam.

Misal di India yang mayoritas Hindu, maka yang menjadi teroris adalah oknum yang mengaku beragama Hindu.

Padahal sejatinya radikalisme dan terorisme adalah musuh agama dan musuh negara, karena tidak ada satupun agama yang membenarkan radikalisme dan aksi terorisme.

Tolok ukurnya adalah ketika belajar agama kita itu menjadi damai, jika kita belajar agama lalu menjadi pemarah, anti pemerintah dan mengkafirkan orang diluar kelompok, maka kita itu telah belajar dengan guru yang salah, stop jangan ikuti karena kita bisa terpapar radikalisme dan bahkan aksi terorisme.

Tuhan menciptakan kita berbeda beda bukan untuk saling menyalahkan, bahkan saling menjatuhan, tetapi untuk saling mengenal dan saling melengkapi satu sama lain. Seperti pelangi yang berbeda beda dan saling berdampingan maka menjadi Indah.

Diakhir paparan, Ken menyebut bahwa saat ini paham radikalisme mengatasnamakan agama berkembang pesat karena memang belum ada regulasi yang melarang paham yang bertentangan dengan ideologi Pancasila.

Jika baru sebuah paham atau pemikiran belum bisa ditindak, paling hanya organisasinya seperti HTI FPI, tapi orangnya masih bisa ganti organisasi dan pahamnya masih terus berkembang.

Ken mendorong agar negara segera menerbitkan regulasi yang melarang semua paham yang bertentangan dengan ideologi Pancasila, agar Indonesia aman dan damai dari rongrongan paham intoleransi, radikalisme dan aksi terorisme. Tutup Ken.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *